Minggu, 20 Oktober 2019


Monday, 21 October 2019

Nama    : Zainil Rifangi

NIM     : 17101020041
Matkul : Sejarah Umat Islam Minoritas

Fenomena Diskriminasi Terhadap Muslim di Singapura

Singapura adalah salah satu negara maju di kawasan Asia Tenggara yang menerapkan pemisahan antara agama dan negara. Persoalan agama menjadi sensitifitas dan lebih ditangani secara internal. Sekulerisme sudah menjadi dasar berbangsa dan bernegara. Tidak terkecuali dalam perlakuan terhadap penganut suatu agama. Seperti yang terjadi pada Muslim di Singapura.
Muslim di Singapura secara historis sudah menjadi minoritas sejak lama. Diskriminasi terhadap Muslim terjadi dalam setiap sendi kehidupan. Walaupun perlakuan terhadap umat Islam menunjukkan progress yang baik namun disisi lain menyisakan permasalahan-permasalahan seperti diskriminasi terhadap umat Islam. Diskriminasi yang terjadi seperti kurang maju dibanding dengan golongan yang lain di semua bidang. Di bidang pendidikan, jumlah Muslim lulusan universitas hanya 2,7% dari jumlah keseluruhan lulusan. Persentase Muslim dalam pekerjaan dan jabatan yang tinggi juga rendah. Di bidang politik, pemerintah menyediakan satu menteri Muslim dalam kabinet, contohnya adalah Menteri Urusan Sosial (Dr. Mattar). Untuk bidang politik sendiri sudah ada kemajuan dengan terpilihnya presiden perempuan Muslim pertama dalam sejarah pemerintahan Singapura yaitu Presiden Halimah Yacoob. Tetapi, di Singapura partai PAP (Peoples Action Party) mendominasi percaturan politik seolah-olah otoriter.
Secara ekonomi, Muslim di Singapura berada diantara yang paling rendah. Pemuda-pemuda Muslim juga kesulitan mencari pekerjaan. Selain kesulitan mencari pekerjaan pemuda-pemuda Muslim juga memiliki persentase kecil dupanggil untuk dinas militer nasional. Tidak ada penganiayaan atau penyiksaan terbuka terhadap Muslim akan tetapi juga tidak banyak usaha untuk menolong karena sebagai minoritas (M. Ali Kettani, 2005: 220-221).
Pasca tragedi 11 September 2001, Asia Tenggara mulai meningkatkan keamanan dan kewaspadaan, termasuk Singapura. Sentimen terhadap Muslim Melayu di Singapura bertambah dan muncul fenomena Islamofobia. Dengan adanya peristiwa tersebut pemerintah Singapura  menerapkan kebijakan terhadap agama. Tindakan tersebut dilakukan karena adanya peningkatan ketaatan terhadap agama para umat Muslim di Singapura yang dirasa mempunyai kerentanan terhadap propaganda muslim radikal.
Salah satu kebijakan yang diskriminatif adalah larangan memakai jilbab atau no-tudung. Penyebab dikeluarkan kebijakan ini dikarenakan sensitifitas pemerintah Singapura terhadap kasus-kasus internasional yang mengatasnamakan umat Islam khususnya mengenai terorisme seperti tragedi WTC di Amerika. Bukti konkret dari diskriminasi ini diantaranya terjadi di salah satu sekolah dimana para siswi Muslim yang mengenakan jilbab diskros dari sekolah umum tersebut. Terdapat dugaan bahwa kebijakan ini lebih mengarah kepada perlindungan bagi masyarakat mayoritas yaitu ras Cina agar umat Islam minoritas tidak melakukan perlawanan. Larangan menggunakan jilbab ini terjadi sekitar tahun 2002 yang kemudian pada tahun 2013 isu pelarangan jilbab ini kembali terjadi yang melibatkan wanita Muslim dilarang menggunakan jilbab di tempat kerja (http://hi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/LAPORAN-PENELITIAN-STIGMA-TENTANG-MUSLIM-MELAYU-upload.pdf, akses 19 Oktober 2019).
Perlu diketahui juga, dalam studi Government Restrictions Index (GRI) dan Social Hostilities Index (SHI), yaitu sebuah studi penelitian mengenai pembatasan pemerintah terhadap agama dan permusuhan atau konflik sosial agama, Singapura termasuk yang mengalami peningkatan. Data yang diperoleh yaitu Juni 2007 (GRI) 4.6 (SHI) 0.2, Desember 2012 (GRI) 5.3 (SHI) 0.4, Desember 2013 (GRI) 6.6 (SHI) 1.0. Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa di Singapura terjadi peningkatan dalam pembatasan agama dan konflik maupun diskriminasi dari tiga kali studi penelitian (Pew Research Center, 2015: 59).


Sabtu, 23 Desember 2017

Menguatkan Kembali Dakwah Islam dengan Metode Walisongo di Nusantara


Menguatkan Kembali Dakwah Islam dengan Metode Walisongo di Nusantara
Perkembangan Islam di berbagai negara dengan penduduk non-muslim terus melaju kencang. Setiap hari masjid-masjid makin ramai dan tidak sedikit rumah ibadah agama lain di Eropa maupun Amerika dibeli untuk masjid. Perkembangan ini belum termasuk jumlah kepadatan penduduk di negara-negara muslim seperti Indonesia. Demikian juga di India, meski prosentase kecil tetapi jumlahnya besar. Dengan populasi penduduknya yang begitu besar, tak ayal umat Islam India dalam persentase kecil pun dapat menyumbang jumlah besar pertumbuhan umat Islam di dunia. Dibuktikan dengan total penduduk 1 miliar jiwa pada 2013, penganut Hindu sekitar 80,5 persen atau 857 juta jiwa, dan pemeluk Islam sebanyak 16,4 persen atau 174 juta jiwa. Umat Islam India bakal dengan cepat melebihi umat Islam di Indonesia. Dengan populasi Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia pada 2010, total penduduk Indonesia mencapai 238 juta jiwa. Jumlah penganut agama Islam mencapai 87 persen atau sekitar 207 juta jiwa. Sedangkan pemeluk Kristen mencapai 7 persen atau 16,6 juta orang.
Begitupun dari hasil penelitian dari Pew Research Center menyebutkan pertumbuhan pemeluk agama Islam di dunia diprediksi akan lebih banyak dibandingkan dengan jemaat Kristen. Bahkan, pada 2070, jumlah umat muslim diperkirakan paling besar di dunia. Penelitian Pew ini berdasarkan data yang dimiliki oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan jumlah penduduk pada 2010 dengan total 6,9 miliar jiwa. Pada tahun itu, agama Kristen menjadi mayoritas dengan total 31,4 persen atau sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, agama Islam, sekitar 23,2 persen atau sekitar 1,6 miliar jiwa. Tidak beragama 16,4 persen atau sekitar 1,1 miliar orang. Agama Hindu di angka 15 persen atau sekitar 1 miliar jiwa. Sedangkan agama Buddha mencapai 7,1 persen atau sekitar 487,8 juta jiwa. Agama lokal di angka 5,9 persen atau sekitar 404,6 juta jiwa. Yahudi 0,2 persen atau sekitar 13,8 juta jiwa. Dan agama lainnya mencapai 0,8 persen atau sekitar 58,1 juta jiwa.
Pada 2050 dengan total populasi manusia yang diprediksi mencapai 9,3 miliar. Populasi jemaat Kristen pun nyaris diimbangi umat Islam. Yaitu, agama Kristen di angka 31,4 persen dengan total 2,9 miliar jiwa. Agama Islam dengan angka 29,7 persen atau sekitar 2,8 miliar jiwa. Tidak beragama 13,2 persen atau sekitar 1,2 miliar jiwa. Agama Hindu 14,9 persen atau sekitar 1,4 miliar jiwa. Agama Buddha 5,2 persen atau sekitar 487 juta jiwa. Agama lokal sekitar 4,8 persen atau 450 juta jiwa. Yahudi 0,2 persen atau sekitar 16 juta jiwa. Dan agama lainnya 0,8 persen atau sekitar 61,4 juta jiwa.
Kondisi umat Islam di Indonesia menunjukkan fenomena bertolak belakang dengan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Meski kaum Muslim masih menjadi mayoritas di negeri ini, namun jumlahnya terus menurun. Ketua Yayasan Rumah Peneleh Aji Dedi Mulawarman mengatakan, ketika pemeluk Islam secara global naik signifikan, di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia persentasenya malah menurun. Pada sensus penduduk 1990 jumlah umat Islam cuma mencapai 87,6 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk 2000. Angka pertumbuhan tahunan umat Islam hanya 1,2 persen. Sementara Kristen dua kali lipatnya, yakni 2,4 persen per tahun. Bila diturunkan lagi ke tingkat provinsi, akan lebih memprihatinkan lagi. Mengutip data dari seorang penulis Leo Suryadinata yang menyebutkan angka pertumbuhan Kristen terbesar adalah di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai delapan persen per tahun sunuh membuat kita sanat miris. Di bawahnya, ada tiga provinsi yang angka pertumbuhan Kristen mencapai tujuh persen. Ketiganya adalah Sumatera Barat, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Upaya Kristenisasi yang masif ditambah dengan aksi sebagian kelompok Islam yang kerap kali memperkenalkan agamanya dengan aksi kekerasan, intoleransi dan terorisme bisa jadi menjadi penyebab makin berkurangnya populasi umat Islam di dunia termasuk di Indonesia.
Islamfobia muncul di mana-mana, di barat atau bahkan di negara-negara timur tengah yang kental dengan warna keislamannya. Ini sebagai akibat dari aksi kekerasan dan teror yang mereka lakukan selalu atas nama Islam. Hingga agama yang dibawa Nabi Muhammad itu akhirnya diidentikkan dengan ajaran kekerasan dan teror. Islam jadi agama yang ditakuti bahkan dibenci, bahkan umat Islam sendiri ramai-ramai meninggalkan agama yang telah turun temurun dianutnya hanya demi alasan kemanaan dan mencari suaka. Populasi umat Islampun terancam makin berkurang.
Kebijakan Pemerintahan Jokowi  yang melarang guru agama dari luar negeri mengajar di Indonesia dan mempermudah para misionaris menyiarkan agama nasrani ke seluruh pelosok negeri seakan mengamini Habiburahman El-Siraji, penulis novel yang sering disapa Kang Abik, yang memprediksi Pemeluk Kristen di Indonesia semakin bertambah, sementara pemeluk Islamnya semakin berkurang. Menurunnya jumlah pemeluk Agama Islam menurut Kang Abik akibat menurunnya populasi (depopulasi), baik atas kelahiran atau karena berpindah agama. Hal ini bertolak belakang dengan yang terjadi di belahan bumi yang lain. Meski masih menjadi mayoritas namun prosentase terus menurunan.
Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012, Menteri Agama RI saat itu, Suryadharma Ali mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah umat Islam di Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah.
Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini turun menjadi 85 persen.
Menurut data Mercy Mission, sebanyak 2 juta Muslim Indonesia murtad dan memeluk agama Kristen setiap tahun. Jika ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2035, jumlah umat Kristen Indonesia sama dengan jumlah umat Muslim. Pada tahun itu, Indonesia tidak akan lagi disebut sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Salah satu cara yang tepat untuk menghindari hal tersebut adalah dengan berdakwah ala Wali Songo ke pelosok Nusantara dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam benar-benar agama rahmatan lil alamin sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah SAW. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya:107). Aksi sebagian kelompok Islam yang kerap kali memperkenalkan agamanya dengan aksi kekerasan dan dan terorisme bisa jadi menjadi penyebab makin berkurangnya populasi umat Islam di dunia termasuk di Indonesia.
Islamophobia muncul di mana-mana, terutama di Barat. Ini sebagai akibat dari aksi kekerasan dan teror yang mereka lakukan selalu atas nama Islam. Hingga agama yang dibawa Nabi Muhammad itu akhirnya diidentikkan dengan ajaran kekerasan dan teror. Islam jadi agama yang ditakuti bahkan dibenci, bahkan umat Islam sendiri meninggalkan agama yang telah turun temurun dianutnya hanya demi alasan keamanan, pekerjaan dan mencari muka, posisi dan suaka. Padahal Islam agama yang damai. “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ (QS Al Anfal : 61). Di dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa islam adalah ajaran yang condong pada kedamaian bukan justru memecah belah dan membuat konflik berkepanjangan. Untuk itu, seruan mengarah kepada kedamaian ini sebagai bagian manusia tunduk kepada aturan Allah dan bentuk ketaqwaan pada ajaran islam. Ajaran kedamaian ini tentu saja bisa juga dibuktikan dari bagaimana Nabi Muhammad setelah perang tidak lantas menghabiskan seluruh orang-orang kafir dan penduduk yang tidak bersalah. Justru Rasulullah membangun dan memberikan kesejahteraan untuk membangun keadilan bagi masyarakat di sana, agar mencapai kesuksesan di Dunia Menurut IslamSukses Menurut IslamSukses Dunia Akhirat Menurut Islam dengan Cara Sukses Menurut Islam. Disinilah betapa pentingnya menghidupkan kembali semangat dakwah Wali Songo ke pelosok nusantara. Strategi wali songo dengan memajukan pendidikan Islam, pendekatan budaya, mempertimbangkan aspek sejarah, dan pengembangan wilayah/ geografis sangat efektif dengan keheterogenan masyarakat Indonesia.

Selasa, 19 Desember 2017

UPT PTIPD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kaji Ulang Tata Kelola IT, Didampingi Tenaga Ahli dari German Melalui Program SES

UPT PTIPD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Kaji Ulang Tata Kelola IT, Didampingi Tenaga Ahli dari German Melalui Program SES

UIN Sunan Kalijaga kembali bekerjasama dengan Senior Experten Services (SES). Setelah sebelumnya dilaksanakan di Fishum, Saintek, dan Tarbiyah, kali ini Program SES dilaksanakan di Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) yang akan berfokus pada Sistem IT UIN Sunan Kalijaga agar berjalan lebih efisien. Dengan adanya pendampingan SES ini juga diharapkan pelayanan dalam bidang IT menjadi lebih maksimal sehingga bisa merealisasikan cita-cita Universitas.
Menurut Kepala PTIPD UIN Sunan Kalijaga, Dr. Shofwatul ‘Uyun,S.T.,M.Kom., Program SES di PTIPD didampingi oleh Dr.Ing. Hendro Wicaksono, dosen dan peneliti Institute for information management in Engineering Karlsruhe Institute of Technology Germany. Dr.Ing. Hendro Wicaksono mendapatkan gelar doctoral di Karlsruhe Institute of Technology (KIT). Pengalaman Dr. Hendro di bidang pengembangan teknologi di bidang IT antara lain; pernah bargabung di Forschungszentrum Informatik (FZI) yang bergerak di bidang Riset Center tentang teknologi informasi, menjadi konsultan di Hewlett-Packard, EDS dan Itellium systems, selain itu juga telah melakukan pendampingan untuk visiting profesor di Universitas Airlangga dan sampai sekarang bekerja sebagai group leader di Karlsruhe Institute of Technology (KIT).
Shofwatul ‘Uyun menambahkan, Kegiatan SES diawali dengan kegiatan FGD yang dilaksanakan di ruang PTIPD, kampus UIN Sunan Kalijaga, 4/12/ 2017. Hasil FGD antara PTIPD dengan Dr. Hendro kemudian menghasilkan prioritas output yang akan menjadi fokus utama dari kegiatan SES, diantaranya melakukan pendampingan sebagai konsultan untuk master plan pengembangan IT, Proses Bisnis dan Evaluasi Pelayanan IT, konsultan tentang cara belajar dan metode pembelajaran di kelas dan laboratorium, konsultan untuk managemen riset dan pembangunan riset center di UIN Sunan Kalijaga, Kuliah umum dan seminar tentang berbagai hal terkait bidang IT, diharapkan dalam pelaksanaannya ada perbaikan untuk lebih difungsikan dan dikelola secara optimal.
Hal tersebut didasarkan pada paparan Dr. - Ing Hendro, yang antara lain menyampaikan, dalam proses optimasi TI memerlukan beberapa hal yang harus dilakukan. Misalnya saja mekanisme dan alur dalam pengembangan (Development) yang harus dilakukan mulai dari tahap pengembangan. Testing (Quality Assurance) sampai Produksi (Production Stage). Agar tidak mengganggu sistem yang berjalan, diperlukan manajemen dalam realease deployment. Untuk pengembangan sistem, penjadwalan bisa menggunakan realease management. Kemudian pada proses development bisa menerapkan source management untuk mendokumentasikan source code.
Menurut Shofwatul ‘Uyun, forum ini menghasilkan poin-poin yang berkaitan dengan optimasi pada bagian masing-masing. Pada bagian database bisa dilakukan optimasi dengan menggunakan load balancer serta mekanisme manajemen database. Sedangkan untuk optimasi gambar dan konten-konten statis dengan menggunakan cache.
Kedepannya diharapkan adanya alur test (testing plan) terhadap sistem yang akan memasuki proses produksi (live) dan mekanisme stress test terhadap modul yang sekiranya akan mengalami gangguan ketika berada pada proses produksi (Weni-Humas)
http://uin-suka.ac.id/id/web/liputan/detail/141/upt-ptipd-uin-sunan-kalijaga-yogyakarta-kaji-ulang-tata-kelola-it

Selasa, 12 Desember 2017



Pancasila sebagai Paradigma dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
Pancasila Paradigma Pembangunan
Pengertian Paradigma
Istilah paradigma menurut Kamus Bahasa Indonesia (Depdikbud 1990) memiliki beberapa pengertian, yaitu (1) daftar dari semua pembentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersbut, (2) model dalam teori ilmu pengetahuan, (3) kerangka berpikir. Dalam konteks ini pengertian paradigma adalah pengertian kedua dan ketiga, khususnya yang ketiga, yaitu kerangka berpikir.
Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah paradigma sebagai ilmu pengetahuan terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun. Pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi teoretis yang umum, sehingga merupakan sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan yang menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri(Kaelan 2000).
Istilah ilmiah ini berkembang kepada bidang-bidang kehidupan lainnya, sehingga menjadi terminologi dari suatu perkembangan dan pembangunan yang mengandung konotasi pengertian:
kerangka berpikir
sumber nilai, dan
orientasi arah.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan iptek
Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai, kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan iptek. Apabila kita melihat sila-sila demi sila menunjukkan sistem etika dalam pembangunan iptek (Kaelan 2000), yaitu sebagai berikut.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dengan irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila pertama ini iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan, tetapi juga mempertimbangkan maksud dan akibatnya kepada kerugian dan keuntungan manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian. Sila pertama menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai sentral melainkan sebagai bagian yang sistematika dari alam yang diolahnya.
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan iptek haruslah secara beradab. Iptek adalah bagian dari proses budaya manusia yang beradab dan bermoral. Oleh karena itu, pembangunan iptek harus berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia. Iptek harus dapat diabadikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan menjadikan manusia sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari penggunaan iptek.
Sila persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan iptek, dengan iptek persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan persahabatan antar daerah di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan iptek. Oleh karena itu, Iptek harus dapat dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan manusia Indonesia dengan masyarakat internasional.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, prinsip demokrasi sebagai jiwa sila keempat ini dapat mendasari pemikiran manusia secara bebas untuk mengkaji dan mengembangkan iptek. Seorang ilmuwan harus pula memiliki sikap menghormati terhadap hasil pemikiran orang lain dan terbuka, dikritik dan dikaji ulang hasil dari pemikirannya. Penemuan iptek yang telah teruji kebenarannya harus dapat dipersembahkan kepada kepentingan rakyat banyak.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemajuan iptek harus dapat menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusian, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan sesamanya, hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya, hubungan manusia dengan lingkungan di mana mereka berada.
Proses pembangunan terwujud dalam pelaksanaan emansipasi bangsa, modernisasi kehidupan bangsa dan negara serta dinamisasi kehidupan masyarakat. Selain itu juga terwujud dengan melaksanakan demokratisasi kehidupan bangsa dan negara, integrasi nasional dan humanisasi bangsa dan negara. Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional harus memperhatikan konsep berikut ini.
Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identifikasi diri sebagai bangsa. Pancasila harus diletakkan sebagai kerangka berpikir yang objektif rasional dalam membangun kepribadian bangsa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan budaya ilmu pengetahuan dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional, perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan bangsa akibat dari pembangunan harus semakin menempatkan nilai-nilai Pancasila yang dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila merupakan arah pembangunan nasional, proses pembangunan nasional tidak terlepas dari kontrol nilai-nilai Pancasila.
Pancasila merupakan etos pembangunan nasional, untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan diciptakan misi pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai moral pembangunan, nilai-nilai luhur Pancasila dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan pembangunan nasional, baik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, maupun dalam evaluasinya.
Dalam menghadapi era globalisasi kita harus melihat dua karakteristik masyarakat untuk pembangunan bangsa (S. Budisantoso. 1998: 42-43). Pertama, kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman budaya. Kedua, dinamika masyarakat dan keterbukaan kebudayaan terhadap pembaruan. Masyarakat majemuk Indonesia yang sedang mengalami perkembangan yang amat pesat karena dampak pembangunan nasional maupun rangsangan globalisasi, memerlukan pedoman bersama (common frame of reference) dalam menanggapi tantangan demi keutuhan bangsa. Oleh karena itu, pembangunan nasional harus dapat memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini.
Hormat terhadap keyakinan religius setiap orang.
Hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi atau subjek (manusia seutuhnya).
Nilai-nilai yang terkait dengan demokrasi konstitusional (persamaan politis, hak-hak asasi, hak-hak, dan kewajiban kewarganegaraan).
Keadilan sosial yang mencakup persamaan (equality) dan pemerataan (equity).


3. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam)
Pengembangan ideologi
Dalam pengembangan Pancasila sebagai ideologi harus memandang sebagai ideologi yang dinamis yang dapat menangkap tanda-tanda perkembangan dan perubahan zaman. Untuk itu kita harus memperhatikan peranan dan kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini.
Pancasila sebagai ideologi terbuka
Nilai-nilai dasar dalam ideologi Pancasila dirumuskan dalam UUD 1945 untuk memperjelas suatu tatanan kehidupan beragama, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan sebagainya.
Wawasan kebangsaan (nasionalisme)
b. Pengembangan politik
Dalam usaha membangun kehidupan politik, maka beberapa unsur yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan adalah sebagai berikut.
Sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis, dan terbuka.
Kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis.
Pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya.
Tiga aspek demokrasi yang harus dikembangkan adalah sebagai berikut.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan
Demokrasi sebagai kebudayaan politik
Demokrasi sebagai struktur organisasi
c. Pengembangan sosial budaya
Pancasila dapat menjadi kerangka referensi identifikasi diri kalau Pancasila semakin credibel, yaitu bahwa masyarakat mengalami secara nyata realisasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Usaha yang dilakukan melalui cara-cara:
dihormati martabatnya sebagai manusia,
diperlakukan secara manusiawi,
mengalami solidaritas sebagai bangsa karena semakin hilangnya kesenjangan ekonomi dan budaya,
merasakan kesejahteraan yang layak sebagai manusia.
d. Pengembangan ekonomi
Pengembangan dan peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) terdiri atas beberapa kriteria kualitas SDM yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.
Memiliki kemampuan dasar untuk berkembang.
Mampu menggunakan ilmu dan teknologi untuk mengolah sumber daya alam secara efektif, efisien, lestari, dan berkesinambungan.
Memiliki etos profesional, tanggung jawab atas pengembangan keahliannya, kejujuran dalam pelaksanaan tugas, ketelitian pelayanan kepada masyarakat, penghargaan terhadap waktu dan ketepatan waktu.
e. Pengembangan Hankam
Ketahanan nasional, pembangunan nasional tak terlepas dari ketahanan nasional, yaitu perwujudan cita-cita bangsa dalam tingkat ketahanan nasional, yang terjabar sebagai berikut.
Nilai-nilai fundamental yang menyangkut pribadi warga negara, yaitu pengembangan pribadi dalam matra horizontal dan vertikal, pertumbuhan sosial ekonomi, keanekaragaman, dan persamaan derajat.
Nilai-nilai fundamental yang menyangkut sistem/struktur kehidupan masyarakat, yaitu pemerataan kesejahteraan, solidaritas masyarakat, kemandirian, dan partisipasi seluruh masyarakat.
Nilai-nilai fundamental yang menyangkut interaksi antara pribadi-pribadi warga negara dan sistem/struktur kehidupan masyarakat, yaitu keadilan sosial, keamanan/stabilitas, dan keseimbangan lingkungan.
Kondisi keamanan yang stabil sangat mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, dan sebaliknya keberhasilan pembangunan nasional juga harus dapat menunjang terciptanya kondisi keamanan yang stabil.


Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution


Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution
1. Peranan Akal 
Berkaitan dengan peran akal, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
2. Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
3. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)   Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut
Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)    Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c)    Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.
2)   Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.